Berbagai Mahzab Tentang Zakat Fitrah

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
 
Ada khilafiyah di kalangan fuqaha dalam masalah ini menjadi dua pendapat. Pertama, pendapat yang membolehkan. Ini adalah pendapat sebagian ulama seperti Imam Abu Hanifah, Imam Tsauri, Imam Bukhari, dan Imam Ibnu Taimiyah. (As-Sarakhsi, al-Mabsuth, III/107; Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, XXV/83).
Dalil mereka antara lain firman Allah SWT (artinya),”Ambillah zakat dari sebagian harta mereka.” (QS at-Taubah [9] : 103). Menurut mereka, ayat ini menunjukkan zakat asalnya diambil dari harta (mal), yaitu apa yang dimiliki berupa emas dan perak (termasuk uang). Jadi ayat ini membolehkan membayar zakat fitrah dalam bentuk uang. (Rabi’ Ahmad Sayyid, Tadzkir al-Anam bi Wujub Ikhraj Zakat al-Fithr Tha’am, hal. 4).
Mereka juga berhujjah dengan sabda Nabi SAW,”Cukupilah mereka (kaum fakir dan miskin) dari meminta-minta pada hari seperti ini (Idul Fitri).” (HR Daruquthni dan Baihaqi). Menurut mereka, memberi kecukupan (ighna`) kepada fakir dan miskin dalam zakat fitrah dapat terwujud dengan memberikan uang. (Abdullah Al-Ghafili, Hukm Ikhraj al-Qimah fi Zakat al-Fithr, hal. 3).
Kedua, pendapat yang tidak membolehkan dan mewajibkan zakat fitrah dalam bentuk bahan makanan pokok (ghalib quut al-balad). Ini adalah pendapat jumhur ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah. (Al-Mudawwanah al-Kubra, I/392; Al-Majmu’, VI/112; Al-Mughni, IV/295).
Dalil mereka antara lain hadits Ibnu Umar RA bahwa,”Rasulullah SAW telah mewajibkan zakat fitrah berupa satu sha’ kurma atau satu sha’ jewawut (sya’ir) atas budak dan orang merdeka, laki-laki dan perempuan, anak-anak dan orang dewasa, dari kaum muslimin.” (HR Bukhari, no 1503). Hadits ini jelas menunjukkan zakat fitrah dikeluarkan dalam bentuk bahan makanan, bukan dengan dinar dan dirham (uang), padahal dinar dan dirham sudah ada waktu itu. (Rabi’ Ahmad Sayyid, Tadzkir al-Anam bi Wujub Ikhraj Zakat al-Fithr Tha’am, hal. 9).
Jadi apabila terjadi perbedaan pendfapat dalam suatu masalah, maka perlu adanya tasamun (saling toleransi) dan tafahum (saling memahami). Sehingga tidak mudah terjebak pada fanatisme golongan. Ada bebrapa hal yang perlu koreksi bersama dalam masalah tersebut. Pertama, kami ingin mengoreksi ustadz yang mengecam pendapat ulama yang membolehkan membayar zakat fitrah dengan uang. Cara-cara yang dilakukan oleh ustadz tersebut merupakan perbuatan yang tidak terpuji. Dalam masalah-malasah ijtihadiyah yang diperselisihkan para fuqaha, seseorang tidak boleh mengecam atau menyerang orang lain yang menerima dan melaksanakan salah satu di antara pendapat-pendapat tersebut.
Seorang muballigh yang baik dituntut bersikap arif dan santun. Bila ia mempunyai pendapat yang berbeda dengan ulama yang lain, maka ia harus bersikap tawadhu, rendah hati. Ulama sekaliber Imam Syafi’i, mujtahid yang sangat andal saja berkomentar tentang pendapatnya dengan mengatakan, ”Bisa jadi pendapatku benar, tapi bukan tak mungkin di dalamnya mengandung kekeliruan. Bisa jadi pendapat orang lain salah, tapi bukan tak mungkin di dalamnya juga mengandung kebenaran.”
Setiap masalah yang tidak ada nash-nya yang qath’i (pasti), dengan sendirinya masuk dalam wilayah ijtihadiyah. Pertanyaan yang Anda sampaikan masuk ke wilayah ijtihad yang boleh jadi satu mujtahid dengan mujtahid yang lain berbeda pendapat (ikhtilaf).
Dalam masalah ini, sebagai orang awam (kebanyakan), kita boleh bertaqlid (mengikuti salah satu mazhab yang menjadi panutan dan diterima oleh umat). Allah tidak membebani kita di luar batas kemampuan yang kita miliki. “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya….” (Al-Baqarah [2]: 286).
Sesungguhnya masalah membayar zakat fitrah dengan uang sudah menjadi perbincangan para ulama salaf, bukan hanya terjadi akhir-akhir ini saja. Imam Abu Hanifah, Hasan Al-Bisri, Sufyan Ats-Tsauri, bahkan Umar bin Abdul Aziz sudah membincangkannya, mereka termasuk orang-orang yang menyetujuinya. Ulama Hadits seperti Bukhari ikut pula menyetujuinya, dengan dalil dan argumentasi yang logis serta dapat diterima.
Sesungguhnya pula, pendapat ini sudah dilaksanakan pada generasi terbaik setelah generasi sahabat (salafus-shalih), yaitu generasi tabi’in yang mengikuti jejak para sahabat dengan baik. Praktik semacam ini sudah dilaksanakan pada pemerintahan Khulafaur-Rasyidin kelima, yaitu Umar bin Abdul Aziz.
Menuurt kami, membayar zakat fitrah dengan uang itu boleh, bahkan dalam keadaan tertentu lebih utama. Bisa jadi pada saat Idul Fitri jumlah makanan (beras) yang dimiliki para fakir miskin jumlahnya berlebihan. Karena itu, mereka menjualnya untuk kepentingan yang lain. Dengan membayarkan menggunakan uang, mereka tidak perlu repot-repot menjualnya kembali yang justru nilainya menjadi lebih rendah. Dan dengan uang itu pula, mereka dapat membelanjakannya sebagian untuk makanan, selebihnya untuk pakaian dan keperluan lainnya.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Kumpulan Photo Penampakan



Terserah Kalian Mao Percaya Atau Tidak..
Kalau Saya Si Cuma Menampilkan Apa Yang Ingin Saya Tampilkan..
Akan Tetapi Kita Harus Ingat, Kalau Mereka Memang Benar-Benar Ada..
Dan Jangan Takut Oleh Mereka..
Karna Sesungguhnya Mereka Lah Yang Harus Takut Terhadap Kita..
Sekian......
Percaya Tidak Percaya Tapi Mereka Memang Ada.
.